revolutiontr.com – Moncler, nama yang identik dengan jaket puffer mewah berlogo ayam jantan dan monogram “M”, telah menjadi simbol gaya hidup alpine yang elegan sejak lebih dari 70 tahun lalu. Merek fashion Italia ini bukan hanya tentang pakaian hangat untuk musim dingin, tapi juga perpaduan sempurna antara inovasi teknis, desain kontemporer, dan komitmen berkelanjutan. Pada 2025, Moncler merayakan pencapaiannya dengan forum multi-stakeholder ke-11 di Februari, yang membahas kesejahteraan hewan dan hak buruh, serta koleksi Spring/Summer yang menampilkan elemen baru seperti kacamata Lunettes. Dengan akuisisi Stone Island senilai €1,15 miliar pada 2020 dan listing di Bursa Milan sejak 2013, Moncler terus mendominasi pasar luxury outerwear global, menghasilkan pendapatan lebih dari €2 miliar per tahun. Bagi pecinta fashion di Indonesia, Moncler bukan lagi barang langka—toko resmi di Jakarta dan Bali menawarkan koleksi eksklusif yang siap menghadapi musim hujan tropis dengan gaya.
Sejarah: Lahir di Alpen, Berkembang di Italia
Moncler didirikan pada 1952 di Monestier-de-Clermont, sebuah desa ski dekat Grenoble, Prancis, oleh René Ramillon—seorang pengrajin peralatan gunung—dan André Vincent. Nama “Moncler” diambil dari singkatan Monestier-de-Clermont, mencerminkan akarnya di pegunungan Alpen. Awalnya, perusahaan fokus pada peralatan ski, termasuk tenda gunung pertama yang menggunakan nilon—bahan revolusioner saat itu. Pada 1968, Moncler menjadi pakaian resmi tim ski downhill Prancis di Olimpiade Musim Dingin Grenoble, yang menjadikannya ikon fungsionalitas.
Pada 1980-an, jaket down quilted-nya menyebar ke area urban, menjadi bagian dari subkultur pemuda Italia dengan warna cerah dan finishing glossy. Namun, era 1990-an penuh gejolak: akuisisi oleh Pepper Industries (1992) dan Finpart membuatnya kehilangan identitas, hampir bangkrut. Titik balik datang pada 2003, ketika pengusaha Italia Remo Ruffini membelinya dengan harga murah dan memindahkan markas ke Milan. Ruffini, yang sebelumnya menjabat creative director sejak 1999, mereposisi Moncler sebagai merek luxury, menggabungkan heritage teknis dengan estetika fashion. Strateginya: rilis bulanan (bukan musiman), kolaborasi dengan desainer seperti Chantal Thomass, dan ekspansi ke streetwear melalui Moncler Genius sejak 2018.
Produk Unggulan: Lebih dari Sekadar Puffer Jacket
Inti Moncler adalah outerwear berisi down, yang kini identik dengan merek—dari jaket ikonik Maya atau Flammette hingga koleksi Grenoble untuk ski performance. Pada 2025, lini produknya meliputi tiga kategori: Moncler (core luxury), Grenoble (high-performance ski), dan Genius (eksperimental kontemporer). Selain jaket, ada footwear seperti Trailgrip (diluncurkan 2022), tas, backpack, aksesoris, eyewear, dan parfum sejak 2021.
Koleksi Spring/Summer 2025 memperkenalkan Lunettes—kacamata bergaya alpine dengan kurva dramatis yang terinspirasi jaket puffer, lengkap dengan palet merah-putih-hitam. Branding ikoniknya: badge appliqué felt, crossed skis, dan mascot bebek kartun, yang muncul di hampir setiap produk. Di Indonesia, jaket Moncler populer untuk gaya urban dingin, dengan harga mulai Rp 20 juta untuk model dasar.
Berikut tabel produk unggulan Moncler pada 2025:
Kategori | Produk Unggulan | Fitur Utama | Harga Estimasi (Rp) |
---|---|---|---|
Outerwear | Maya Down Jacket | Down 90/10, tahan air, ringan | 25–40 juta |
Ski Performance | Grenoble Ski Suit | Waterproof, breathable, modular | 30–50 juta |
Footwear | Trailgrip Sneakers | Grip alpine, eco-materials | 8–15 juta |
Accessories | Lunettes Sunglasses | UV protection, desain curved | 5–10 juta |
Fragrance | Moncler Pour Femme | Notes woody, launched 2021 | 2–3 juta |
Inovasi dan Komitmen Berkelanjutan: Menuju 2025 dan Seterusnya
Moncler dikenal dengan iterative design: kolaborasi dengan atlet gunung untuk testing di kondisi ekstrem, seperti ekspedisi Himalaya. Pada 2025, perusahaan mencapai 43% penggunaan yarns dan fabrics low-impact (dari target 50% di Sustainability Plan 2020-2025), termasuk recycled cotton dari sisa produksi—diverifikasi pihak ketiga. Mereka mengelola 130 supplier dengan audit ketat berdasarkan Code of Ethics (2017) dan Supplier Code of Conduct (2016), fokus pada kesejahteraan hewan melalui forum dengan ILO dan NGO seperti Compassion in World Farming.
Akuisisi Stone Island memperkuat posisi streetwear, sementara Moncler Genius mengundang desainer seperti Virgil Abloh dan Craig Green untuk koleksi limited. Ruffini menekankan “experience over possession”, dengan event seperti proyeksi Duomo di Milan yang imersif.
Dampak Budaya: Dari Piste ke Runway
Moncler telah berevolusi dari supplier Olimpiade menjadi staple fashion, dipakai selebriti seperti Kendall Jenner di Met Gala. Di Asia, termasuk Indonesia, merek ini mewakili aspirasi urban-alpine, dengan toko pop-up di Bali yang menggabungkan elemen lokal. Pada 2025, podcast Business Breakdowns membahas bagaimana Moncler mendefinisikan “après-ski playbook”—campuran fungsi dan gaya.
Moncler bukan sekadar merek—ia adalah cerita tentang adaptasi, dari pegunungan Alpen ke runway Milan. Di bawah kepemimpinan Ruffini, perusahaan ini terus berinovasi sambil menjaga akarnya, siap menghadapi tantangan 2025 seperti sustainability dan digital experience. Bagi Anda di Indonesia, kunjungi butik Moncler di Plaza Indonesia untuk rasakan kehangatan alpine di iklim tropis. Apakah Moncler akan tetap jadi pilihan utama di era fashion berkelanjutan? Pasti—karena ia tak hanya melindungi dari dingin, tapi juga dari tren yang sementara.